You have been astrayed to an obsessed girl's blog named Sapu!
Please flounder your stay.
Quick Facts
Sapu
17 y.o.
High School Student
See Through

Shout Up and Drive
ShoutMix chat widget
Outer Space






Old Cases
Juli 2008
September 2008
Oktober 2008
November 2008
Desember 2008
Januari 2009
Februari 2009
Maret 2009
April 2009
Mei 2009
Juni 2009
Juli 2009
Kitchen
Design and Code
Sapu
Image Upload
Photobucket
Blog Host
Blogger
Jumat, Juli 11, 2008
Mom Said So...
Pacaran, oh yeah, pasti kau pernah tahu atau sekadar mendengar kata ini kan? Yak! Gue, sebagai cewek puber pun menginginkannya--dulu. Oh, dulu? Yeah, apa perlu diulang? D-u-l-u. Hei, hei, jangan salah, gue masih puber, tahu! Tapi, yah, mungkin sedang di puncak kesadaran, atau karena pengaruh keluarga, gue jadi dewasa sebelum waktunya? Oh, entahlah. Yang pasti saat ini gue sedang tak peduli. Why? Ya, ya, ketololan seorang Sapu akan gue jabarkan di sini.
My first love, itu tokoh komik, entah siapa, gue lupa, sampai kelas tiga smp pun gue tak dapat memalingkan muka dari tokoh-tokoh komik, freak, eh? Ya, memang. Pertama gue suka cowok asli itu... pas kelas tiga, di mana gue satu jemputan, sangat dekat kalau boleh dikata, apa daya cinta bertepuk sebelah tangan, sampai saat ini gue masih benci lagu 'Bila Aku Jatuh Cinta'-nya Nidji. Mau tes? Sini, siapkan perutmu untuk gue jotos. Masuk SMA gue mulai mencari pelarian, nemu, tapi tak sebaik yang dulu, gue berhenti suka hanya sekitar tiga bulan tanpa terjadi apa-apa.
Yak, satu yang sempat jadi kisah adalah yang terakhir. Paling, euh, entahlah. Obbliviate saja gue, mungkin lebih baik. Intinya gue yang suka cowok itu, dia responnya baik, dan begitulah, hubungan mengalir tanpa arah. Suatu ketika gue tanya 'who am I in your eyes' dan blablabla, secara sepihak gue menganggapnya sebagai pacar, entah dia menganggap gue apa. Pertama kali jalan, gue membohongi orang tua, makan (ngga dibayarin), ditraktir nonton, ke Starbucks (ngga dibayarin juga), dan pulang sendiri (asal anda tahu, gue pulang naik busway, nyasar ke blok M, naik mayasari bakti atau kopaja--gue lupa--dipalak lima ribu di sana, dan God's saved me, pulang dengan selamat.). Oke, ini baru pertama kali, begitu pikir gue, kegoblokan tingkat satu.
Kedua kali jalan, gue menunggu empat puluh menit, membohongi orang tua juga, of course, kutuk saja gue, gue terima. Makan bayar sendiri lagi. Kegoblokan tingkat dua, gue mau saja pulang sendiri, hampir bahaya. Daerah Jakarta pusat-selatan itu bukan daerah kekuasaan gue, jadi yaah, fortunately, God's saved me again. Jalan ketiga, bersamaan dengan gath regional forum, don't mind. Oh ya, dia memberi gue kalung. Saat pulang dia memberi tahu gue--lewat chat--bahwa rantai kalungnya dia ganti dengan tali sepatu. Oh entahlah, quite pathetic, gue cuma tertawa miris. Kegoblokan tingkat tiga.
Yang keempat adalah yang membuat gue merasa: gue cewek paling tolol sedunia. Ah, terserahlah mau bilang apa. Gue janjian dengan dia di sebuah toko buku dekat sekolah, gue hanya minta jemput di sekolah gue, dia bilang takut macet. Entah syaraf ngambek gue putus atau apa, gue mau saja sendiri ke sana. Menunggu di gramedia bak orang idiot, gue akhirnya bertemu, jalan sebentar, dan minum-minum di dunkin donut (guess what? Oh yeah, perfect, ga dibayarin). Yang membuat gue langsung ilfeel bukan itu, I'm not a kind of materialistic girl, no, not it. Dia bilang dia bawa supir, niat menjemput nyokapnya--masih lama. Gue memintanya mengantarkan ke rumah atau apalah (sekadar ke terminal kek), dia bilang dia parno, oh oke, terserahlah. Gue ditelpon ibu gue, tertangkap basah, yeah, sehingga harus cepat pulang. Begitu gue pamit pada dia, gue harus merengek untuk membuatnya berdiri. At least, if he care about me, dia bakal menemani gue sampai gue naik bus, ya kan? But no, dia cuma membukakan pintu dunkin dan dengan tenang duduk kembali. Hell. Gue sms 'gitu banget sih', dia jawab 'ga gitu juga sih'. Oh, great. Sempurna, kegoblokan tingkat empat.
Gue tahu tu orang emang cuek dari sananya, but hell, demi pantat kuali, gue merasa ditampar saat ibu dan ayah gue menceramahi gue. Yeah, gue sadar. Gue terlalu berharga untuk orang seperti itu. Terlalu pe-de? Oh bukan pe-de, gue hanya merasa tak ada untungnya berhubungan dengan dia. Gue tak menyalahkan orang itu, tentu saja, dia memberi pelajaran pada gue, mesti harus keki dan tertawa sambil meringis saat mengetik ini. Hubungan yang tidak jelas akan berakhir dengan tidak jelas juga. Like I care. Gue tak berinteraksi lagi dengan orang itu, sampai saat ini. Terserahlah. Sekarang sih, gue--lagi-lagi--jatuh cinta dengan tokoh komik. Pun gue tak peduli. I'm free like a snake. What ever.
Oh ya, kata-kata bijak dari kakak gue:
"Cowok kalau ngga nganterin ceweknya sampai rumah--sejauh apapun itu--langsung putusin aja!"
Great. That's it. Hahahah.
Hereby declared, 23.12.00. 2
CommentsMy first love, itu tokoh komik, entah siapa, gue lupa, sampai kelas tiga smp pun gue tak dapat memalingkan muka dari tokoh-tokoh komik, freak, eh? Ya, memang. Pertama gue suka cowok asli itu... pas kelas tiga, di mana gue satu jemputan, sangat dekat kalau boleh dikata, apa daya cinta bertepuk sebelah tangan, sampai saat ini gue masih benci lagu 'Bila Aku Jatuh Cinta'-nya Nidji. Mau tes? Sini, siapkan perutmu untuk gue jotos. Masuk SMA gue mulai mencari pelarian, nemu, tapi tak sebaik yang dulu, gue berhenti suka hanya sekitar tiga bulan tanpa terjadi apa-apa.
Yak, satu yang sempat jadi kisah adalah yang terakhir. Paling, euh, entahlah. Obbliviate saja gue, mungkin lebih baik. Intinya gue yang suka cowok itu, dia responnya baik, dan begitulah, hubungan mengalir tanpa arah. Suatu ketika gue tanya 'who am I in your eyes' dan blablabla, secara sepihak gue menganggapnya sebagai pacar, entah dia menganggap gue apa. Pertama kali jalan, gue membohongi orang tua, makan (ngga dibayarin), ditraktir nonton, ke Starbucks (ngga dibayarin juga), dan pulang sendiri (asal anda tahu, gue pulang naik busway, nyasar ke blok M, naik mayasari bakti atau kopaja--gue lupa--dipalak lima ribu di sana, dan God's saved me, pulang dengan selamat.). Oke, ini baru pertama kali, begitu pikir gue, kegoblokan tingkat satu.
Kedua kali jalan, gue menunggu empat puluh menit, membohongi orang tua juga, of course, kutuk saja gue, gue terima. Makan bayar sendiri lagi. Kegoblokan tingkat dua, gue mau saja pulang sendiri, hampir bahaya. Daerah Jakarta pusat-selatan itu bukan daerah kekuasaan gue, jadi yaah, fortunately, God's saved me again. Jalan ketiga, bersamaan dengan gath regional forum, don't mind. Oh ya, dia memberi gue kalung. Saat pulang dia memberi tahu gue--lewat chat--bahwa rantai kalungnya dia ganti dengan tali sepatu. Oh entahlah, quite pathetic, gue cuma tertawa miris. Kegoblokan tingkat tiga.
Yang keempat adalah yang membuat gue merasa: gue cewek paling tolol sedunia. Ah, terserahlah mau bilang apa. Gue janjian dengan dia di sebuah toko buku dekat sekolah, gue hanya minta jemput di sekolah gue, dia bilang takut macet. Entah syaraf ngambek gue putus atau apa, gue mau saja sendiri ke sana. Menunggu di gramedia bak orang idiot, gue akhirnya bertemu, jalan sebentar, dan minum-minum di dunkin donut (guess what? Oh yeah, perfect, ga dibayarin). Yang membuat gue langsung ilfeel bukan itu, I'm not a kind of materialistic girl, no, not it. Dia bilang dia bawa supir, niat menjemput nyokapnya--masih lama. Gue memintanya mengantarkan ke rumah atau apalah (sekadar ke terminal kek), dia bilang dia parno, oh oke, terserahlah. Gue ditelpon ibu gue, tertangkap basah, yeah, sehingga harus cepat pulang. Begitu gue pamit pada dia, gue harus merengek untuk membuatnya berdiri. At least, if he care about me, dia bakal menemani gue sampai gue naik bus, ya kan? But no, dia cuma membukakan pintu dunkin dan dengan tenang duduk kembali. Hell. Gue sms 'gitu banget sih', dia jawab 'ga gitu juga sih'. Oh, great. Sempurna, kegoblokan tingkat empat.
Gue tahu tu orang emang cuek dari sananya, but hell, demi pantat kuali, gue merasa ditampar saat ibu dan ayah gue menceramahi gue. Yeah, gue sadar. Gue terlalu berharga untuk orang seperti itu. Terlalu pe-de? Oh bukan pe-de, gue hanya merasa tak ada untungnya berhubungan dengan dia. Gue tak menyalahkan orang itu, tentu saja, dia memberi pelajaran pada gue, mesti harus keki dan tertawa sambil meringis saat mengetik ini. Hubungan yang tidak jelas akan berakhir dengan tidak jelas juga. Like I care. Gue tak berinteraksi lagi dengan orang itu, sampai saat ini. Terserahlah. Sekarang sih, gue--lagi-lagi--jatuh cinta dengan tokoh komik. Pun gue tak peduli. I'm free like a snake. What ever.
Oh ya, kata-kata bijak dari kakak gue:
"Cowok kalau ngga nganterin ceweknya sampai rumah--sejauh apapun itu--langsung putusin aja!"
Great. That's it. Hahahah.
Label: Blog