<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://draft.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5684595003711672539\x26blogName\x3dSevere+Acute+Sarcastic+Syndrome\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://sapu-sapu.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://sapu-sapu.blogspot.com/\x26vt\x3d275128673141338016', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Congratulation!

You have been astrayed to an obsessed girl's blog named Sapu!

Please flounder your stay.


Quick Facts

Sapu
17 y.o.
High School Student


See Through

Catherine Bana Aurora's 

Facebook Profile




Shout Up and Drive


ShoutMix chat widget


Outer Space














Old Cases

Juli 2008
September 2008
Oktober 2008
November 2008
Desember 2008
Januari 2009
Februari 2009
Maret 2009
April 2009
Mei 2009
Juni 2009
Juli 2009


Kitchen

Design and Code
Sapu

Image Upload
Photobucket

Blog Host
Blogger
Minggu, Mei 03, 2009
FF
Yorkshire, 1 Agustus 1996.

“Hold on, you, little bastard!!”

“No! Stop it, please!!”

Yorkshire, Inggris Utara. Pagi yang biasa di musim panas, musim panas kedua setelah surat yang menyatakan tanggal satu September, Hogwarts menungguku, dan kini surat itu juga telah sampai untuk anak keriwil yang sedang menderita jambakan super keras dari seseorang. Raft Drive nomor enam menjadi gaduh. Tidak ada istimewa dari rumah tingkat dua di pemukiman Muggle itu sebenarnya. Bergaya minimalis—sudah lama populer dan kebanyakan rumah di komplek itu pun bergaya demikian—dengan tiga kamar tidur, taman yang tidak bisa dibilang besar, dan peralatan elektonik yang tersedia juga tidak bisa dibilang luar biasa. TV, kulkas, dish-washer. Sekilas kau mungkin akan melihatnya sebagai rumah biasa, tapi tentu saja bukan. Itu rumahku.

Oh-ho, perkenalkan dulu, kalau begitu. Sergei Bloomberg, laki-laki, tiga belas tahun. Anak sulung dari seorang Auror bernama Reno Bloomberg. Kaya? Pasti. Meski tanpa sanak saudara jauh—yang sayangnya membuang status purebloodnya dan malah berpura-pura menjadi Muggle—yang menempati peringkat atas orang terkaya—oh, yeah, mungkin lebih tepatnya Muggle terkaya—di dunia, ayahku sangat berkecukupan. Rumah ini hanya satu dari sekian rumah yang dimilikinya. Terlepas dari pekerjaan kasar yang kurasa cukup kurang kerjaan, dia bangsawan, dari Rusia tepatnya. Pertanyaan bagus, ibu? Kata ayah, dia anak mafia Italia yang meninggal setahun setelah aku lahir. Mm, aku tidak bisa bilang aku sedih akan kenyataan itu, simpel saja: aku tidak ingat dirinya sama sekali.

Oh, kalau yang itu pertanyaan jelek, kawan.

Siapa orang yang sedang kujambak ini?

“Kakaaak!! Hentikan! Kumohon!!” raung anak perempuan berkulit cokelat sambil menangis tersedu-sedu. Rambutnya serasa tertarik sampai keakar-akarnya tetapi tidak mau lepas dari kulit kepala, menyisakan rasa ngilu yang lebih parah dari migrain. Aku menyeringai, melepaskan tangan putihku dari rambut keriwil hitam si piama pink lalu menendang tulang keringnya.

“Jangan berani menyebutku ‘kakak’, tidak sudi. Cuih!” sepertinya darah mafia memang mengalir di nadi ini, eh?

Aku merebut sebuah amplop lumayan tebal dari dekapannya—dia menggelepar tidak mau, tapi kekerasan cukup untuk membuatnya diam—menyeliwerkannya di depan mata anak itu. Sebelum sempat tangannya menggapai kembali bungkusan perkamen yang kumainkan, aku telah menariknya kembali dan membuka segelnya. Ya, cukup skimming singkat saja karena aku sudah hafal isi surat yang persis sama dengan yang kuterima dua tahun lalu.

“Miss Bloomberg yang baik...” suaraku yang belum mencapai tahap perubahan menjadi berat bergaung lamat-lamat di koridor rumah minimalis itu. Sekilas kulihat bibir perempuan berkulit cokelat ini mengembangkan senyumnya sedikit. Yeah, dia juga tahu itu surat apa.

Aku menyeringai lagi.

“Bloomberg?!”

Senyum samar di bibir hitam perempuan itu menghilang. Aku mengibas-ngibaskan perkamen itu di tangan kananku. Membuat gestur seperti seorang ayah yang bangga anaknya diterima bekerja di sebuah perusahaan tanpa nama setelah tiga tahun menganggur. Dengan tiba-tiba aku membanting perkamen itu di meja telepon yang memang dekat dengan jangkauan. Murka.

“Kau pikir kau siapa? Bangga menyandang nama ayahku?”

“You didn’t have the part of him in you! Rambut, mata, kulit, aksen, bahkan golongan darah pun tidak. Berani menyatakan diri sebagai seorang Bloomberg, bahkan memanggilku ‘kakak’. You kidding me...”

Sekali lagi sebuah tendangan kuhadiahkan untuknya. Kalau tadi kaki kiri yang kena, sekarang giliran kaki kanan. Oh, nama anak tak tahu diri ini? Sion—Sion saja bagiku, Bloomberg bukan nama keluarganya, catat itu—sebelas tahun, perempuan. Lima tahun umurnya saat dengan mengherankan ayahku membawanya. Kulitnya hitam, bibirnya tebal dan berwarna gelap, rambutnya keriwil, dan tingkahnya kampungan luar biasa. Kau harus tahu golongan darahnya B padahal ayahku A. Yeah, aku sudah belajar tentang gen-gen yang memungkinkan seorang anak lahir dengan golongan darah yang berbeda jauh dari orang tuanya, tapi pertanyaannya adalah: siapa orang tuanya? Kemungkinan dia bukan anak ayahku lebih besar daripada DNA ayah mengalir di sel-sel tubuhnya, bukan begitu?

/BREEEK/

Aku merobek kertas itu menjadi dua, tepat di depan hidungnya. Mendekatkan wajahku ke wajahnya.

“Namamu?”

“Sion.”

“Itu saja?”

“Itu saja.”

“Lalu siapa Miss Bloomberg yang dimaksud surat ini?”

Matanya mendadak bersinar nyalang. Dia mendorong pundakku sampai aku hammpir terjengkang. Tiba-tiba dia berdiri dan mengambil serpihan perkamen dari lantai kayu di dekat kakiku. Mendekapnya erat-erat lalu memandangku keji.

“Bloomberg! Nama belakangku Bloomberg! Aku! Aku Sion Bloomberg!!” matanya berkaca-kaca. Suara kecil menjijikan yang merusak telinga. Aku mendengus dan berdiri, tanganku merapat di udara kosong, sekitar satu meter dari pipi perempuan tidak tahu diri ini.

“Kak! Hentikan!” sebuah tangan kecil lainnya meraih lenganku dari belakang. Kini seorang gadis kecil berambut cokelat sebahu. Aku hanya tersenyum simpul, menurut untuk tidak menampar Sion dan memasukkan tanganku ke dalam saku celana.

“Namamu?” aku menyampaikan pertanyaan yang sama kepada si kecil berumur tujuh tahun ini. Dia menatapku takut, tapi mencoba berani.

“...Samantha.”

“Itu saja?”

“...Tidak.”

“Lalu?”

“Samantha Bloomberg, itu namaku.”

“Anak baik...” aku mengacak-ngacak rambut bobnya. Menyipitkan mataku lalu tersenyum. Sam melangkah mundur melihat tarikan bibirku yang berbahaya, tetapi dia tidak mencabut perkataannya. Sam anak legal juga, tapi bukan dari ibuku. Apa dia juga pantas memanggilku kakak? Tentu tidak.

Ctuk, ctuk.

Aku menolehkan kepalaku. Mendapati seseorang dengan tinggi seratus sembilan puluh dua yang sedang mengetuk-ngetukkan sebilah kayu dan menyenderkan diri di ujung koridor. Surai cokelat tua yang sama denganku tersisir rapi, membentuk rahangnya—yang membuat wanita manapun pasti akan tergoda—semakin menggairahkan—sayang aku tidak mewarisi rahang itu—gayanya necis, tiga puluh tiga umurnya. Ah, yeah, aku tidak menyangka dia pulang hari ini mengingat rekor tercepatnya pulang ke rumah adalah satu bulan dua puluh empat hari. Ini baru dua hari, tidak wajar.

“Berlaku baik di rumah, Sergei?” suara bassnya menggema. Aku mengangguk mengiyakan sekadarnya. Dia meninggalkan tembok tempat senderannya dan berjalan mendekati pijakan kami bertiga. Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, berusaha agar zamrudku tidak bertemu dengan champagnenya yang dalam. Dia membungkuk di depanku, menggagalkan misiku untuk tidak bertatap mata dengannya.

“Sergei.”

Aku menggigit bibir bawahku. Kau tahu kebohongan akan sia-sia di depan auror yang satu ini. “Oke, tidak, aku menyiksa Sion,” ujarku lirih, alis tebal milik ayahku naik, hanya satu, yang artinya dia meminta pengakuan yang lain yang keluar dari bibirku, “... dan juga Samantha...”

Konsekuensi, ya, aku tahu itu. Biasanya dua jam bersama petrificus totalus atau empat hari berburu jembalang dari jam sebelas sampai jam tiga. Tapi tidak, bibir tipis ayahku tidak mengucapkan apa-apa, sepatah gumaman pun tidak. Alih-alih menghukumku, dia meraih robekan perkamen yang digenggam Sion. Membacanya perlahan, lalu menyerahkannya kembali ke tangan Sion tanpa berbicara apapun. Meninggalkan kami bertiga dengan rahang melongo. The hell in this world, what’s happen with that Reno Bloomberg? Satu menit saja dia kembali.

“Milik Llaird, warisan Arshavin,” dia menggenggamkan sebuah kunci ke tanganku. Astaga, kau tahu ini kunci apa, bukan? Kunci emas kecil berukir bahasa goblin, tempat semua harta penyihir berada, Gringgots. Ada apa gerangan?

“Hadiah dari Prune dan Llaird ,” kini Reno menggenggamkan kunci kecil lainnya ke tangan Sion.

“Milikku,” giliran Samantha yang mendapat sebuah kunci.

Ini mengerikan, aku tidak bohong. Bagai pembagiann warisan tanpa notaris oleh orang yang mengira-ngira hidupnya akan berakhir sebentar lagi. Aku meraih tangan ayah yang hendak menaiki tangga. Dia hanya memiringkan bibirnya, senyum setannya yang biasa. Tetapi matanya. Terakhir kulihat pancaran mata itu sembilan tahun yang lalu. Saat peti mati seseorang dikuburkan bersama pembunuhnya.

“Kau...” kata-kataku tercekat di tenggorokan ketika dia tiba-tiba menghilang dari pandanganku, ber-disapparate. Samantha menyusulku kemudian, lalu memeluk tanganku, memerhatikan kunci kecil yang masih berkilau di tangannya.

“Ini apa?” tanya Sam bingung, cengkeramannya makin kuat terasa di lenganku, “aku takut...”

Sion mematung dua meter dari tangga. Mukanya jauh lebih menderita daripada waktu aku menyiksanya tadi.

Siapa? Apa? Kapan?

Aku tidak tahu, tidak akan pernah tahu maksud senyum setan yang terlukis di wajah pucat itu barusan. Aku, Sergei Bloomberg, pertama kalinya menangis di depan dua orang yang kubenci ini. Entah karena apa.




Komi, Rusia Utara, 28 Agustus 1996

/BRUUK/

Dari pintu. Sam melongokkan kepalanya, melihat sumber suara itu ketika didapatinya sebuah pemandangan yang membuat Sam menutup mata dengan kedua belah tangannya. Aku yang masih mengemut garpu tiramisu bergabung dengan Sam dan ikutan terperanjat. Denting garpu yang terlontar tanpa dinyana menyadarkan dua insan yang sedang beradu itu. Telunjuk Reno mengarah menuju dapur, dibarengi dengan anggukan dua anak lekas-lekas.

Aku menempati kursiku, menatap tiramisu yang tadi ingin kuhabiskan cepat-cepat namun entah kenapa aku sama sekali tidak minat untuk saat ini. Lukisan Mozart mengikik melihat diriku tercenung.

(hening)

Tidak, ada suara desah yang bergairah.

Please, Dad. Lakukan itu di mana saja, asal bukan di rumah tempat anakmu yang masih di bawah umur bisa mendengarnya dari jarak dua lantai. Sam meremas roknya, mata cokelatnya berkilat memandangiku.

“Itu siapa?”

“Tidak tahu,” aku mengendikkan bahu dan meringis. Agaknya Sam belum bisa menerima perilaku menyimpang seorang Reno, tapi sekiranya aku sudah kebal. Mantan prefek Slytherin itu pernah mengencani Madam Pomfrey, aku tahu itu. Ibu Sion juga gosipnya masih kelas satu saat dilumat bibirnya oleh Tuan Setan yang satu itu. Sembilan belas tahun umurnya ketika ia menikah dengan ibuku. Apa titel ‘brengsek’ itu memang melekat pada Pedrovski yang tampan? Dia tidak membantah, sejauh aku mengetahuinya.

Aku tidak tidur nyenyak. Sepanjang malam, bebunyian asusila menghantui. Pagi yang tidak indah mengingat Sion telah kembali dari Diagon Alley dan duduk mengunyah toast tanpa dosa. Barang keperluan Hogwartsnya terlihat bergerak sendiri, Yve yang menggotongnya tidak terlihat di bawah kuali berisi buku.

/Plak/

Tanganku melayang menyentuh pipinya, tamparan dari dua puluh tujuh hari yang lalu. Sepertinya semboyan ‘banyak anak banyak rezeki’ tidak berlaku di keluarga ini. Tiga anak dengan ibu berbeda, bukan pertanda keluarga harmonis yang tidak penuh lika-liku pertengkaran, eh? Aku mendengus melihat mata Sion yang terbelalak tak percaya. Bunyi jduk menandakan Yve tersandung mendengar suara tangan yang bertemu dengan pipi. Peri-rumah itu memandangku heran sekaligus takut. Aku menghempaskan diri di sofa, menekan-nekan remote TV tanpa fokus pada benda kotak yang menampilkan gambar yang bergerak-gerak itu. Sion menghilang di balik api hijau perapian. Aku hanya mencibir.

Ah, yeah. Besok. Tanggal satu September. Kereta merah Hogwarts akan berangkat menuju Sekolah Sihir penuh konspirasi dan kebencian yang tidak berdasar berada. Ternyata musim panas cepat berlalu, bahkan terasa tidak berlalu. Mungkin faktor rumah ini, Rusia, delapan belas derajat Celcius. Samar-samar kudengar suara Cello yang digesekkan pelan dan Piano yang berdenting. Cello Samantha. Warisan ibunya, bakat musik klasik itu. Aku tahu ibu Samantha, seorang wanita kelahiran Yorkshire. Alasan yang bagus mengapa rumah kami yang kedua terletak di sana juga.

Song Without Words in D Major, Op. 109.

Aku mendapati konser mini itu di studio atas. Ayah sudah berpakaian rapi, dasinya terikat tanpa cela. Ke mana manusia yang kemarin bermain dengannya, tidak ada yang tahu. Yang aku tahu hanyalah nada mayor yang mengalun aneh. Aku bersender di pintu, memerhatikan duet yang bersanding manis. Nada terakhir dibarengi dengan helaan. Ayah bangkit dari duduknya, menyambar jas yang tersampir di atas grand piano yang dimainkannya lalu pergi begitu saja. Tanpa mengucapkan apapun, bahkan tidak memuji permainan Sam.

For Merlin’s Sake.

/BRAAAK/

Aku membanting bingkai yang ada di atas buffet. Sebuah foto. Bukan, bukan foto keluarga saat Reno masih kecil, bukan juga foto pernikahan kedua, apalagi foto ibu Sergei. Hanya ada satu foto di rumah itu. Gambar dua orang berlencana P yang sedang bersidekap. Yeah, julukan Lady Serpent untuk Beau yang legendaris, aku tahu itu. Tebak saja mengapa Mr Devil ini begitu mencintainya karena aku harus siap dicincang kalau berani menanyakan perihalnya.

Ia berbalik, tongkat sihirnya mengacung padaku.

“Namamu?” aku tertohok, pertanyaan yang sama yang kulontarkan pada Sion. Hanya saja ini lebih berbahaya. Kalau aku hanya berani menganiaya Sion dengan tendangan, Reed itu lebih parah. Kau tidak akan mati dengan tendangan di tulang keringmu tapi kayu tipis ini sanggup memisahkan kau dengan jiwamu.

“Sergei...” tenggorokanku tercekat melihat alis tebalnya lagi-lagi naik satu, “...Myakovsky...” naik dua, aku tidak berani menatap manik cokelatnya yang redup, “...Bloomberg.”

Tangan besar ayah mengacak-acak rambutku begitu aku menunduk. Dia mencium pipiku lalu tersenyum. “Aku mengubur Arshavin dan Llaird seorang diri,” ujarnya perlahan seraya memakai jasnya, “salju berbercak darah,” lanjutnya lamat-lamat, aku menggigit bibir bawahku, ayah kembali tersenyum, “kau tidak akan mengalami hal yang sama.”

Dia berlalu begitu saja. Bibirku masih terlalu bergetar untuk mengoceh menanggapi omongannya yang tidak kumengerti barang satu kata pun. Samantha menghampiriku, masih memegang bow Cello-nya dengan mata berkaca-kaca. Gadis tujuh tahun ini memelukku, menangis tersedu.

Seakan menyesap Vodka, kepalaku berputar.




St. Petersburg, Rusia, 27 Desember 1996

Matahari memang tidak pernah menyinari tempat ini di musim dingin. Wajah-wajah kemerahan orang-orang dari Kementrian Sihir Inggris tidak menarik perhatianku. Jubah-jubah panjang mereka kurang tebal dan hitam untuk menghadiri upacara. Serpihan air yang menjadi es sekejap menghiasi kemuraman seluruh entitas yang berada di sini, di tempat ini. Tiga batu nisan, satu lubang baru.

Kulihat di sana Ibu Samantha menitikkan air matanya, anaknya yang berambut coklat mencengkeram kakinya. Sion tidak ada di sini, aku yakin dia mengurung diri di toilet Myrtle dan bersikuku untuk tidak meninggalkan Hogwarts bahkan di musim panas. Pengacara ayah berdiri di sampingku, begitu juga seorang penyihir mengaku Muggle yang telah membuang harga dirinya sebagai seorang darah-murni dan menjadi orang bergelimang harta yang fana. Aku mengamati tiga buah batu nisan yang tertumpuk salju. Nama kakek buyut dan anaknya beserta istri, terukir di sana dengan huruf Cyrillic. Satu nisan lagi akan dipancang di sebelah mereka.

Rumah lantai tiga, rumah mewah. Aku tidak pernah menempatinya, tapi aku tahu perapiannya menghitam karena darah.

Tangis Sam membuncah saat akhirnya kotak hitam dengan ukiran ular datang, tidak ada orang yang menggotongnya, hanya pejabat kementrian berjalan dengan tongkat sihir mengacung. Perlahan peti itu akhirnya menyentuh dasar lubang. Tidak ada pastor untuk mengucapkan doa ataupun ayat-ayat perpisahan, Reno Bloomberg tidak beragama. Mawar hitam dilemparkan ke lubang enam kaki itu. Aku tidak bisa menangis, meski ingin. Teman-teman ayah menepuk-nepuk bahuku, meminta aku agar tetap kuat menjalani hidup.

“Kak Sergei,” Sam menarik tanganku. Hidungnya semerah tomat. Sekiranya dia mengerti ucapan ayahku di musim panas kemarin. Yeah, kami tidak sendirian. Ada banyak orang di sini, turut bermuka sedih dan memakai jubah serta payung serba hitam. Tetapi salju tetap berberccak darah, merah di atas putih. Darahku dan Samantha, ada lubang di dada kiriku sementara Samantha mengerling perutnya. Bukan pistol, aku tahu itu.

Aku dan Sam tumbang. Kulihat seseorang di tepi hutan, memakai capuchon hitam, tetapi dari tengah kesadaranku yang mengabur, aku tahu siapa dia. Seorang wanita tua berambut pirang. Dari silsilah keluarga Bloomberg setebal enam inchi yang kutemukan di gudang, aku dapat mengenalinya. Eallene Lucy de Valois nama kecilnya, ibu dari ayahku, dengan kata lain: nenekku.

Dengan sigap, Mr Claymer—teman auror ayah berkepala botak—dan auror lainnya menangkap pelaku yang sudah mengakhiri hidupnya sendiri. Mereka menggotong wanita tua yang sudah tidak bernyawa itu lalu berdisapparate. Aku menatap tanganku yang bersimbah cairan hangat berwarna merah ini. Dan langit seakan runtuh di benakku. Gelap merundungku, menyilaukan.

Ada sebuah tangga. Sam berdiri di sampingku. Aku menaiki tangga pualam itu sambil bergandengan tangan dengan gadis tujuh tahun berambut cokelat. Di ujung tangga, kulihat ayah sedang duduk bersama seseorang wanita bermata hijau, wanita di foto itu. Ayah juga melihat kami yang berlari kecil menghampirinya. Alisnya naik.

Hei, hei, ada apa dengan wajahmu?

Mengapa terkejut begitu?

Yeah, kami tidak sendirian. Harapanmu terkabul, eh, Dad?

Label:



Hereby declared, 14.13.00. 0 Comments